Kamis, 31 Januari 2008

Tentang Shalat Berbahasa Indonesia



Oleh: Prof. Dr. H.M. Erfan Soebahar, M.A Guru Besar Ilmu Hadis, Dosen Pascasarjana IAIN Walisongo dan Sekretaris Umum MUI Kota Semarang
Mengenai apa arti shalat kita umumnya sudah maklum, baik arti secara bahasa maupun istilah, baik tentang waktu melaksanakan maupun lafal-lafalnya.

Jika disebutkan menurut bahasa, shalat itu adalah doa, itu sudah maklum dan jika dikatakan menurut istilah, shalat itu adalah pernyataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat yang ditentukan, tentu sudah mafhum. Rasanya itu sudah tak perlu dijelaskan karena diyakini setiap muslim telah memahami hal itu. Namun persoalannya akan menjadi lain lagi ketika masuk di soal praktik dan pelaksanannya. Lebih-lebih praktik shalat yang khusyuk, dengan memahami makna, asal usulnya, juga bagaimana baiknya kita shalat. Uraian ini mencoba bersama menelaah mengenai hal itu, agar gambaran shalat yang relatif jelas dapat dimiliki bersama. Sebelum membahas hal penting tersebut, akan lebih afdhal jika terlebih dahulu dimulai dengan menyampaikan pengertian umum shalat, untuk membawa pemahaman bersama tentang definisi shalat secara komprehensif, sekaligus untuk mempermudah pemahaman selanjutnya.
Shalat sebagai ritual atau simbolis adalah amalan yang dilakukan insan Muslim yang mengandung banyak symbol, yang menggambarkan wujud ketaatan dan kerendahan manusia mukmin di hadapan Allah Swt. Dalam shalat, seorang Muslim secara simbolis mengikrarkan diri untuk menyerahkan segala gerak-gerik, hidup dan mati hanya untuk Allah Swt semata. Ikrar yang secara rutin diucapkan ini seyogyanya tidak hanya sebatas dilisan, melainkan harus secara nyata di tunjukkan dalam aktifitas keseharian. Shalat yang dilakukan hanya sebatas ritual, tidak akan mampu mencegah pelakunya dari perbuatan yang menyimpang dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. (Tanha Anil Fahsyai wa Al Munkar ).
Dilihat dari sudut aktivitas, shalat adalah amalan yang dilakukan melalui symbol- simbol, seperti takbir (lambang pengakuan akan kebesaran Allah), ruku' (lambang dari ketundukan pada hukum Allah) dan sujud (lambang dari ketaatan kepada perintah Allah). Di samping itu, shalat adalah ibadah anfus (diri). Bertolak dari pengertian di atas, maka pemahaman tentang shalat adalah ritual ibadah, yang secara sosiologis shalat harus sesuai dengan tuntunannya dan sama sekali tidak bisa melenceng dari tuntunan yang telah digariskan, baik perihal tatacaranya ( kaifiyah), bacaannya dan bahkan waktu pelaksanaannya serta gerakannya.
Dalam fikrah fiqih, tuntunan itu bisa kita ambil dari dalil hadis, antara lain sebagaimana yang dinyatakan Nabi saw, "Shallu Kama Roaitumuuni Ushalli". Artinya, 'shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat’. Hadis ini menjelaskan bagaimana Muslim melaksanakan praktik salat, sebagaimana diperintahkan Al-Quran: Aqiimuu Al Shalat". Dalam ayat lain dijelaskan apa pegangan yang dipergunakan bila dalam melaksanakan aturan dan ajaran agama terjadi perbedaan dan perselisihan, Allah swt menegaskan, "Jika kalian saling berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul", yakni kembali ke al-Kitab dan Sunnah. Jadi, Al-Quran dan Hadis Nabi saw adalah rujukan utama kita.
Shalat Nabi sebagai dimaksud di atas, adalah amalan beliau yang dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Bahasa yang dipakai dalam salat juga sudah ditentukan oleh Allah swt melalui contoh faktual shalat Nabi saw, termasuk bentuk bacaan dan ayat-ayatnya. Semua sudah sebagaimana diatur Allah swt, dan dipraktikkan oleh Nabi saw dengan model dan cara yang sudah baku. Hal itulah yang dipegang teguh oleh para ulama, sebagai sunnah fi’liyyah, yang ringan dan mudah sampai saat sekarang dan akan selamanya demikian. Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya kwalitas ke Islaman seseorang adalah tergantung pada kualitas ibadah shalatnya. Kecintaan seseorang kepada Islam juga tergantung pada kecintaan dalam mengerjakan salat. Oleh karena itu kenalilah dirimu sendiri wahai hamba Allah!. Takutlah kamu jika nanti menghadap Allah Azza Wajalla tanpa membawa kwalitas ke Islaman yang baik. Sebab kwalitas ke Islaman dalam hal ini ditentukan oleh kwalitas ibadah salatmu. "(Ibn Al Qayyim, al-Shalah: 42 dan al Shalah Wa Hukmu Taarikihaa: 170-17 1) Bahasa Salat Dalam AI-Qur'an telah dijelaskan bahwa shalat berfungsi untuk mencegah pelakunya dari berbuat keji dan munkar (QS. Al-Ankabut : 45). Artinya, orang yang istiqomah shalatnya, bisa dipastikan mempunyai perilaku yang baik dan jauh dari kemaksiatan.
Al-Qur'an sebagai wahyu diyakini kebenarannya, yaitu menjamin orang yang taat salat untuk terhindar dari kekejian dan kemunkaran. Akan tetapi, ada fenomena lain bahwa tidak setiap orang yang menjalankan shalat dengan rajin itu lantas moralnya baik. Acapkali ditemukan orang yang shalatnya kenceng tetapi maksiatnya jalan terus dan sepertinya ia tidak mampu menemukan subtansi dari tujuan salat. Apakah yang dinyatakan Al-Qur'an dalam Surat Al Ankabut di atas ada yang salah?. Apakah kalau begitu Al-Qur'an mengandung kesalahan?
Siapa pun tidak akan berani menyatakan bahwa Al-Qur'an salah!. Begitu juga Yusman Roy, Pengasuh Pondok I’tikaf Jamaah Ngaji Lelaku, Malang, Jawa Timur yang saat ini menjadi sorotan banyak kalangan, karena mengenalkan model shalat dengan menyisipkan bacaan berbahasa Indonesia, yang diperuntukkan bagi imam shalat. Dengan alasan untuk memahami bacaan shalat dan mempermudah penghayatan makna shalat, karena tidak semua umat Islam tahu arti dari bahasa Arab. Maka kontan saja, apa yang dilakukan oleh Yusman mengundang reaksi keras dari para ulama dan kaum muslimin. Mereka mengecam keras, dan menganggap apa yang diajarkan Roy sebagai upaya untuk menjauhkan umat Islam dari Al-Qur'an. Tanpa menyalahkan salah satu pihak, ada baiknya jika fenomena ini dipahami secara komprehensip melalui berbagai sudut pandang. Dari situ maka setiap langkah yang dilakukan oleh setiap Muslim dapat dipahami bersama, tanpa harus terjadi atau mempertajam pro dan kontra yang berpotensi melahirkan perpecahan umat. Karena kasus dan persoalan serupa, bisa saja di kelak kemudian hari muncul kembali dalam kemasan yang kurang lebih sama. Kembali kepada persoalan shalat.
Bila mengacu ke petunjuk hadis Nabi saw dan ijtihad para 'fuqaha', dalam berbagai kitab disebutkan bahwa shalat adalah ibadah yang memuat syarat dan rukun tertentu yang bilamana syarat dan rukun itu tidak dipenuhi, bisa menyebabkan tidak sah atau batalnya salat seseorang. Berawal dan pemahaman ini, bisa dilihat apakah shalat dengan dua bahasa itu sah atau tidak. Dimulai dari hal yang paling mendasar, yaitu dalam shalat ada kewajiban membaca Al-Fatihah. (Ummul Kitab). Rasulullah dalam hal ini menyatakan, "Tidak sah shalat seseorang apabila dalam salat itu tidak dibacakan Surat Al-Fatihah." Surah Al-Fatihah (Ummul Kitab) dimaksud adalah yang termuat dalam Al Quran, utuh dan tidak berubah sejak diturunkannya hingga saat ini dan Insya Allah akan sedemikian selamanya yang menggunakan bahasa Arab. Jadi siapapun harus membacanya seperti adanya itu, baik berupa teks maupun pelafalannya. Akan halnya makna atau terjemahnya sudah banyak Al-Qur'an yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, akan tetapi bahasa pokoknya tetap bahasa arab yang juga dikatakan sebagai Lughotul Qura’n (bahasa Al Qur’an), sehingga melalui bahasa Arab itu ke universalan Islam lebih terlihat (Rahmatan li Al-'Alamin); dimana pun orang kalau takbir, ruku', sujud, tetap seperti itu, menghadap kiblat dengan bacaan yang sudah ada dan dengan memakai bahasa Arab. Sehingga dapat dikatakan juga bahasa Arab adalah bahasa persatuan ummat Islam.
Harus diakui bahwa bahasa Arab yang selama ini kita gunakan sebagai bacaan dalam shalat baik sendiri maupun dalam jamaah, telah menyatukan umat Muslim di seluruh dunia. Dalam ibadah haji misalnya, orang-orang yang menunaikannya berasal dari berbagai penjuru dunia, yang berbeda adat kebiasaan dan bahasanya, namun semua itu akan melebur jadi satu saat menunaikan shalat hanya dengan satu Imam. Makmum dari berbagai lingkungan budaya dan bahasa yang berbeda akan dapat mengikuti shalat dengan sempurna. Kerancuan sudah pasti akan terjadi manakala, setiap kelompok yang berbeda bahasa, saling menggunakan bahasa masing-masing dalam shalatnya, misalnya orang Cina salat dengan bahasa Cina, orang India shalat dengan bahasa India dan seterusnya, karena di tanah suci Mekkah maupun Madinah, orang akan sulit mencari imam daerahnya masing masing.
Universalitas Islam sebagai rahmatan li al-'alamin akan pudar dan ibadah menjadi tidak nyaman lagi. Dengan demikian, mengubah bahasa Arab menjadi bahasa Indonesia atau bahasa lain dalam shalat dengan tujuan agar shalat benar-benar menjadi simbol pengabdian dan penghayatan hamba terhadap Tuhan, adalah ihtiar yang bukan saja tidak tepat, tetapi juga bisa menebarkan kerancuan dan bahkan akan merusak tatanan Rahmatan lil Alamin-nya agama Islam. Oleh karena itu, tidaklah perlu menggunakan dua bahasa dalam shalat. Ihtiar menterjemah bacaan shalat, untuk lebih mendalami dan menghayati artinya, akan lebih baik dan pada tempatnya dilakukan diluar solat dan tidak bisa dalam bentuk verbal (pada saat shalat) dengan menterjemahkan ayat atau bacaan shalat lainnya kedalam bahasa non Arab.
Memang, antara berpikir versi logika sosiologis dengan logika fiqh suatu waktu bisa saja terjadi kontradiksi, karena sudut pandang satu sama lain yang berbeda, misalnya, jika kita memakai logika sosiologis maka untuk mengkomunikasikan sebuah simbol (shalat) pengabdian kepada Allah tidak harus dengan simbol-simbol tertentu, sehingga bahasa Arab dapat diganti dengan semua bahasa. Namun, ketika dihadapkan pada logika fiqih maka bentuk komunikasi itu mesti dijalankan dengan cara dan bacaan serta waktu sebagai telah diatur dalam syariat agama.

Tidak ada komentar: