Jumat, 08 Agustus 2008

FILSAFAT

Kupu-Kupu


SEORANG anak sedang bermain dan menemukan kepompong kupu-kupu di sebuah dahan yang rendah. Diambilnya kepompong tersebut dan tampak ada lubang kecil di sana. Dia tertegun mengamati lubang kecil itu karena terlihat ada seekor kupu-kupu yang sedang berjuang untuk keluar membebaskan diri melalui lubang itu. Lalu, tampak kupu-kupu itu berhenti mencoba, dia kelihatan sudah berusaha semampunya dan tampaknya sia-sia untuk keluar melalui lubang kecil di ujung kepompongnya.

Melihat kejadian itu, si anak menjadi iba dan mengambil keputusan untuk membantu si kupu-kupu keluar dari kepompongnya. Dia pun mengambil gunting, lalu mulai membuka badan kepompong dengan guntingnya agar sang kupu-kupu bisa keluar dan terbang dengan leluasa.

Begitu kepompong terbuka, kupu-kupu pun keluar dengan mudahnya. Akan tetapi, ia masih memiliki tubuh gembung dan kecil, sayap-sayapnya tampak masih berkerut. Anak itu pun mulai mengamatinya lagi dengan seksama sambil berharap agar sayap kupu-kupu tersebut berkembang sehingga bisa membawa si kupu-kupu mungil itu terbang menuju bunga-bunga yang ada di taman.

Harapan tinggal harapan, apa yang ditunggu-tunggu si anak tidak kunjung tiba. Kupu-kupu itu tak juga terbang. Kupu-kupu tersebut terpaksa menghabiskan sisa hidupnya dengan merangkak di sekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap yang masih berkerut serta tidak terbentang dengan sempurna. Kupu-kupu itu, akhirnya tidak pernah mampu terbang.

Si anak yang membantu mengeluarkan kupu-kupu dari kepompongnya itu, rupanya tidak mengerti bahwa kupu-kupu perlu berjuang dengan daya usahanya sendiri untuk membebaskan diri dari kepompongnya. Lubang kecil yang perlu dilalui kupu-kupu tersebut akan memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu itu masuk ke dalam sayap-sayanya sehingga dia akan siap terbang dan memperoleh kebebasan.

Makna

Hidup adalah perjuangan. Hidup adalah kerja keras, bahkan untuk meraih keberhasilan diperlukan keringat dan air mata,” demikian Thomas Alva Edison si penemu lampu pijar pernah bertutur.

Tidak ada yang instant, semua melalui proses yang sudah ada dalam siklus kehidupan. Setiap tapak kehidupan yang telah dilalui akan memberikan makna yang luar bisaa bagi seseorang untuk memasuki tapak kehidupan berikutnya. Pengalaman-pengalaman suka dan duka dalam setiap sendi kehidupan akan memberikan warna tersendiri untuk menghiasi rentang kehidupan kita yang sebentar ini.

Itulah sebabnya terkadang jika sedang merenung, terbersit keinginan untuk bisa mengikuti setiap jengkal kehidupan dengan bijaksana dan serius. Namun, tatkala persaingan sudah semakin ketat, perenungan tinggal perenungan, yang penting bagaimana meraih keberhasilan dengan cara apa pun, walau terkadang sampai menghalalkan segala cara.

Seorang anak tanpa disadari terkadang menjadi korban ambisi orangtuanya. Misalnya, orangtua memaksa anak untuk belajar berhitung atau kursus komputer agar terlihat lebih dulu bisa berhitung atau menguasai komputer dibandingkan teman-temannya.

Fenomena lain terjadi di sebuah perusahaan, ketika “putra mahkota” (anak pemilik perusahaan) yang masih relatif muda sudah diberi tempat yang menyenangkan sebagai salah satu anggota direksi. Cerita sejenis juga terjadi di sebuah sanggar tari, seorang lulusan sekolah tari langsung diangkat menjadi manajer pementasan tari hanya karena dia adalah keponakan dari pemilik sanggar tari tersebut, padahal dia belum pernah mengenyam dunia tari yang sesungguhnya.

Beberapa kisah “pengarbitan” di atas tentu akan menuai permasalahan baru dalam implementasinya, karena individu-individu yang “dikarbitkan” tidak dibiarkan terlebih dahulu untuk matang dalam perjuangan hidup.

Jika kita kembali pada kisah si kupu-kupu, mungkin kita baru mengerti bahwa seekor kupu-kupu yang cantik ternyata baru bisa terbang dengan indahnya setelah melalui perjuangan yang cukup berat dalam proses metamorfosis yang luar biasa hebatnya. Jika seseorang ingin terbang dengan kompetensi yang memadai tentu harus melalui perjuangan yang berat. Kompetensi seseorang dinilai dari apa yang telah dilakukannya, bukan dari apa yang diucapkannya. Kompetensi seseorang diuji melalui pengalaman-pengalaman hidup yang dialaminya, bukan sekadar perencanaan yang tertulis di atas kertas.

Layaknya seekor kupu-kupu, hidup manusia pun tidak hanya sekadar tumbuh mengikuti siklus kehidupan yang sudah ada, namun harus berani mengambil titik balik untuk berubah ke arah yang lebih baik lagi. “Meta” dan “Morphe”, demikian asal kata Metamorfosis yang diambil dari bahasa Yunani untuk perubahan yang terjadi pada seekor kupu-kupu. Artinya, berubah ke bentuk yang lebih baik (dari ulat menjadi kepompong lalu kupu-kupu).

Perubahan pertama yang memungkinkan kita untuk terbang tinggi adalah perubahan paradigma (perubahan cara berpikir) dan cara pandang. Bagaimana cara kita memandang kehidupan ini, bagaimana cara kita memandang setiap permasalahan yang dihadapi, atau bagaimana cara kita memandang perusahaan kita saat ini, akan sangat menentukan bagaimana kita melalui hari-hari kita selanjutnya.

Jika selalu memandang negatif dan terus mengeluh tentu akan membuat sikap mental kita menjadi lebih buruk. Sebaliknya, jika disikapi dengan optimis dan penuh harapan, maka proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik. Perubahan pikiran ini selanjutnya akan diikuti dengan perubahan perasaan yang selanjutnya membuahkan perubahan tingkah laku.

Untuk menuju hidup yang lebih baik, maka diperlukan kerja keras bukan sekedar mengharap dan menunggu saja. Untuk bisa sukses dalam menempuh perjalanan hidup, maka kita harus berusaha sekuat tenaga dan berdo’a. Keduanya harus sama-sama dikerjakan, karena bila salah satunya saja yang dikerjakan, maka kita tidak akan pernah mencapai apa yang kita inginkan. Hakikatnya, berusaha tanpa boerdo’a adalah kesombongan dan kebohongan, sedangkan berdo’a tanpa berusaha adalah omong kosong belaka. Hidup itu yang mengatur Tuhan, maka kita harus melakukan apa yang bisa membuat Tuhan berkehendak sesuatu kepada kita sesuai dengan yang kita inginkan.

Tidak ada komentar: